Kamis, 22 November 2012

Sejarah Kemaritiman di Indonesia Timur

MALUKU UTARA DALAM KURUN NIAGA NUSANTARA (Suatu Kajian Sejarah Kemaritman Indonesia Timur Abad ke XVII-XIX[1]) (Azwar Abdullah)[2] Alas Pikir Perkembangan mutakhir Historiografi Indonesia memperlihatkan perhatian terhadap kajian Sejarah Maritim, atau ada yang menyebutnya sebagai Sejarah Bahari. Timbulnya perhatian ini tidaklah terlampau mengherankan karena sepertiga wilayah Indonesia terdiri dari bentangan perairan, mulai dari laut hingga danau dan sungai. Secara khusus laut memiliki peranan penting dalam dinamika politik dan masyarakat Indonesia. Dari sudut pandang masa kini, laut tidak lagi dipandang sebagai pemisah daratan atau pulau-pulau tetapi lebih sebagai pemersatu. Selain itu, laut merupakan urat nadi penting dalam komunikasi antar tempat di nusantara. Dewasa ini di tengah-tengah persaingan ekonomi bangsa-bangsa yang semakin menajam, konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) perlu dimantapkan untuk disebarluaskan dan diperjuangkan di tingkat internasional. Sudah tahun 1957, ketika Deklarasi Juanda dicanangkan, gagasan itu muncul. Deklarasi ini menyatakan bahwa batas territorial atau kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah garis terluar dari batas pantai yang saling berhubungan dan tidak ada celahnya. Gagasan ini merupakan jawaban terhadap pandangan Laut Bebas yang menimbulkan anggapan perairan di seluruh dunia sebagai common property. Pada tahun 1980-an muncul gagasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang memberikan kedaulatan kepada Negara kepulauan untuk menggarap sumber daya maritimnya.[3] Pengembangan sejarah kemaritiman membawa perubahan besar terhadap Historiografi Indonesia. Penulisan sejarah Indonesia jangan hanya menjadikan darat sebagai pusat kajian tetapi juga sudut pandang Sejarah Indonesia berorentasi juga ke laut. Maksudnya, dinamika kelautan menjadi bagian perubahan di Indonesia terutama yang berlangsung di daratan. Dengan begitu, penulisan sejarah Indonesia menjadi lengkap dan komprehensif. Dalam pemikiran Susanto Zuhdi (2006), seorang Guru Besar Sejarah Indonesia di Universitas Indonesia, perspektif Tanah Air perlu memperoleh pertimbangan dalam Historiografi Indonesia. Penulisan Sejarah Maritim berawal dari karya A.B. Lapian (1987) yang mengetengahkan trikotomi tipologi dalam konstelasi dan dinamika di laut, sebagai Raja Laut, Bajak Laut dan Orang Laut. Pengembangan bajak laut sebagai fenomena dalam dunia maritime. Selain itu, aspek selanjutnya dalam Sejarah Maritim adalah pelayaran dan perdagangan. Keperkasaan pelaut nusantara telah terbukti hingga ke mancanegara. Pelayaran mereka mencapai Madagasar dan Australia (Marege). Dalam jaringan pelayaran interregional, letak strategis kepulauan Indonesia menjadi perlintasan yang penting dalam pelayaran internasional. Terkait dengan jaringan pelayaran, kepentingan ekonomi memainkan peranan yang tidak kecil. Perdagangan internasional menjadi makin marak menyusul kemajuan dalam bidang teknologi pelayaran dan perkapalan. Pembuatan kapal lintas samudra, penemuan alat navigasi dan pengetahuan perbintangan merupakan faktor penting dalm kemajuan itu. Oleh karena itu, harus diketahui bersama bahwa dalam sejarah ummat manusia mereka menjadikan laut sebagai jalur yang cocok untuk di arungi, menyebarkan kebudayaan dan berdagang hingga ke berbagai pulau di tanah air ini. Dalam Sejarah Maluku Utara sebelum kedatangan bangsa eropa, negeri ini telah didatangi orag Cina dan para pedagang Arab hal ini mengidensikasikan bahwa para pedangang cina dan Arab telah lama melaksanakan kegiatan niaga di Maluku Utara. Para pedagang inilah yang membawa rempah-remah ke Calicuta, sri langkah, timur tengah dan laut tengah. Ketika orang-orang Islam menguasai mediteranian, hal ini merupakan malapetaka bagi perdagangan orang-orang Eropa, sehingga memaksa mereka untuk mencari pusat rempah-rempah. Para pedagang lebih banyak menggunakan laut sebgai jalur perdagangan sehingga ada yang kita kenal dengan jalur sutera. Karena transportasi rempah-rempah melalui jalur darat ternyata beresiko tinggi. Selain harus berhadapan dengan para bajak laut, para pedagangang yang menempuh jalur ini harus mengeluarkan biaya tinggi untuk membayar pungutan di sepanjang jalur tersebut.[4] Seperti yang dikethui, kerajaan-kerajaan Maluku mengandalkan sumber penghasilan dari sector produksi dan perdagangan rempah-rempah. Maluku sebagai pusat rempah-rempah membuat bangsa asing berani mengarungi samudra yang begitu ganas, keuntungan dalam perniagaan rempah-rempah begitu fantastis. Bahkan hampir tidak masuk akal. Kondisi Geografis Wilayah Maluku Utara Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang teletak pada lintasan garis khatulitiwa dan berada pada 124⁰ sampai 129⁰ bujur timur dan 3⁰ lintang utara sampai 3⁰ lintang selatan. Ada sekitar 353 pulau besar dan kecil baik yang berpenghuni maupun belum di wilayah ini. Pulau terbesarnya dan paling utama adalah Halmahera, menyusul pulau-pulau penting lainya seprti Obi, Sula, Morotai, Bacan, Makian, Ternate dan Tidore. Luas wilayah daratan Maluku Utara mencapai 32.000 km² kemudian kawasan lautnya sebesar 107.381 km². di sebelah utara kawasan ini berbatasan langsung dengan samudra pasifik, disebelah selatan dengan laut seram, di sebelah timur dengan laut Halmahera, dan disebelah barat dengan laut Maluku. Fisiografi Maluku Utara di bentuk oleh relief-relief besar, dimana palung-palung oseanis dan punggung-punggung pegunungan saling berganti secara amat mencolok. Kepulauan ini terdiri dari dua lingkungan kesatuan kepualaun yang berjalan melalui Filipina, sangir talaud, minahasa, yang dilengkupi oleh leluk Sulawesi, palung sangihe yang vulkanik dan lengkungan kontinen Malanesis yang bergerak dari Papua bagian utara, Halmahera timur, dan berakhir di Maluku Utara bagian utara yang nir-vulkanik. Secara topografis, sebagian besar Maluku Utara terdiri dari pulau-pulau vulkanik dan pulau karang, dengan jenis tanah yang dominan berupa tanah kompleks brown forest soil, tanah mediteran, tanah lotosal, dan tanah renzina. Penyebaran daratanya terdiri dari kelompok pulau besar seperti Halmahera, kelompok pulau sedang seperti Morotai, Bacan, obi, Taliabu, Mongoli serta kelompok pulau kecil seperti Ternate, Tidore, Makean Kayoa dan sebagainya. Jaringan Perdagangan dan Munculnya Kota Perdagangan Pada tahun 1512, Portugis menduduki kepulauan Maluku dan sebagian kerajaan di Indonesia Timur menerima kedatangan Bangsa Portugis dengan senang hati, karena bagi mereka orang-orang Eropa menghargai hasil kebun rempah-rempah dan terbukalah perdagangan secara langsung dengan masyaraat di daerah tersebut. Kedatngan bangsa eropa ini membuat masyarakat di daerah penghasil rempah-rempah terutama Maluku menyadari bahwa Cengkeh sangat berharga sehingga penduduk mulai membudidayakan perkebunan cengkeh, namun orang-orang kulit putih ini membeli dan memenuhi muatan kapal mereka dengan pala, bunga pala (fuli), dan cengkeh dengan harga yang murah. Dengan mendapatkan harga yang murah mereka dapat memperoleh keuntungan hingga berlipat ganda ketika menjualnya ke Lisabon. Rempah-rempah di Kepulauan Maluku sebelum kedatangan bangsa Portugis dibeli oleh para pedagang dari Melayu, China, dan Arab lalu dikapalkan ke Teluk Persia, diangkut oleh kafilah ke kawasan Laut Tengah dan dipasarkan ke Konstantinopel, Genoa, Venice (Venesia). Melalui karavan daratan Cina, sejarah membuktikan bahwa kapal-kapal Cina sudah berada di Banda Naira kurang lebih 600 tahun sebelum Portugis tiba. Setiap kali rempah-rempah itu diperjual-belikan atau berpindah tangan, harganya naik menjadi 100 %.[5] Bangsa Portugis yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan Maluku. Ketika orang-orang Islam menguasai mediteranian, hal ini merupakan malapetaka bagi perdagangan orang-orang Eropa. Pada tahun 1511, Laksamana Alfonso de Albuquerque (penjelajah Portugis) sesuai perintah Raja Portugal mengirimkan dua kapal, masing-masing dipimpin oleh Antonio de Abreu dan Fransisco Serrao menuju Kepulauan Maluku untuk menemukan Banda Naira sebagaimana yang tertulis dalam catatan perjalanan Fransisco Serrao. Tingginya kebutuhan rempah-rempah itu hingga membawa orang Eropa berlayar ke Asia, tepatnya ke Maluku. Pada abad ke-16 Portugis telah memusatkan keberadaannya di Ambon, Kepulauan Banda dan sampai ke Ternate, Tidore, kemudian mereka pun berlayar ke Nusa Tenggara yang kaya akan kayu cendana, hingga akhirnya mempunyai kekuasaan di Timor. Jalur pelayaran yang dilakukan oleh para pedagang untuk mencapai kepulauan Maluku dilakukan dengan menggunakan kapal layar dan perahu. Secara tradisional pengetahuan akan astronomi yang telah lama dikenal membantu para pelaut dalam pelayaran, walaupun sebenarnya para nelayan Nusantara telah mengenal kompas. Pengetahuan tentang kompas mereka peroleh dari para pedagang Arab, Persia, Gujarat, dan China yang sering berkunjung di Kepulauan Nusantara. Melalui ilmu perbintangan ini dapat diduga akan arah mata angin, musim, dan arus laut. Ketika langit cerah maka perahu dapat diarahkan dengan melihat bintang dan bentuknya, sehingga para nelayan dan perahu pedagang biasanya telah mempunyai pengetahuan akan musim angin. Jaringan perdagangan maritim ini sangat ditentukan oleh angin muson karena tenaga pendorong utama sarana angkutan pada saat itu adalah angin buritan, namun bagi perahu ada tenaga pendayung yang memperkuat lajunya perahu. Pelayaran perdagangan ini dipengaruhi oleh muson barat laut dan muson timur laut. Muson barat laut berlangsung antara bulan September hingga Mei dan muson timur berlangsung pada bulan Juni hingga September. Angin muson ini mempengaruhi terhadap musim hujan dan musim kemarau, pada kurun waktu masing-masing muson itu terseling pula muson utara yang bertiup pada bulan Januari sehingga membuat kondisi muson barat laut terganggu pada bulan Januari hingga awal Pebruari. Ketika bertiup muson timur laut bertiup pula muson angin tenggara pada bulan Juni. Kondisi muson ini diikuti pula dengan pengaruh angin darat dan arus laut yang mengikuti arah angin, menciptakan pola jalur pelayaran niaga dan jaringan dalam perdagangan maritim Nusantara.[6] Jalur perdagangan ini menempatkan Maluku sebagai jaringan perdagangan rempah-rempah baik melalui jalur timur-barat, maupun utara-selatan. Jaringan perdagangan barat-timur menyebabkan adanya dua jalur penting dalam pelayaran niaga ini. Pertama adalah jalur pelayaran dari Malaka menyusuri pesisir utara Pulau Sumatera, Jawa kemudian ke Nusa Tenggara dan melanjutkan pelayaran menuju Maluku bagi yang akan mencari rempah-rempah dan yang mencari kayu cendana memasuki perairan Nusa Tenggara Timur ke Timor dan Sumba. Pelayaran balik mengikuti jalur yang sama. Jalur lain, seperti dimuat dalam catatan Tome Pires, adalah dari Malaka ke Tanjungpura kemudian berlayar ke Makasar selanjutnya melalui Buton menuju Maluku dan kembali dengan jalur yang sama. Penguasaan Portugis terhadap malaka pada tahun 1511, dan melakukan pelayaran ke bagian timur dengan melewati jalur utara yakni dari Malaka menuju Kalimantan setelah itu ke Sulawesi dan selanjutnya ke Ternate dan pulau-pulau penghasil rempah lainya. Sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi Maluku, mereka telah menjalin hubungan perdagangan dengan orang-orag makasar akibat dari perubahan arah angin yang menyebabkan mereka harus mendarat di wilayah-wilayah di Indonesia timur. Akibat dibukanya beberapa jalur pelayaran niaga, perairan Maluku makin ramai didatangi oleh para pedagang baik dari Nusantara sendiri, maupun bangsa Eropa. Perniagaan di Maluku, terutama pada wilayah perdagangan Maluku Utara para pedagang local melakukan perdagangan dengan para pedagang dari Pulau Seram, Bugis-Makassar, Buton, Manado, Timor, dan wilayah sekitar Papua. Dari tempat-tempat ini perahu menjelajahi Papua Barat, Aru, Kei, Banda, Bali, sampai ke Sumbawa. Pedagang dari Papua, para pedagang membawa alat-alat dari besi, tenunan, tembikar, perunggu, serta burung cendrawasih. Barang-barang ini ditukar (barter) dengan pala hutan masoi, tripang, karet, dan lain-lain. Mereka yang ke Kei membawa gong, tembakau, tembikar, parang, tenunan, sagu, pinang, senjata, dan lain-lain yang ditukar dengan hasil laut seperti mutiara, tripang. Barang-barang yang diangkut dari Papua dan Kei ini dijual lagi kepada para pedagang dari Makassar yang datang ke Seram dan Gorom. Dari para pedagang Bugis barter dengan bahan-bahan katun, mesiu, emas, dan lain-lain. Uang perak, pala, dan hasil laut, yang diperoleh dari para pedagang Makassar-Bugis dibawa ke Bali. Dari Manado, beras dan kopi menjadi komuditi utama, selain itu juga dari Bali para pedagang membawa perak, beras, katun, senjata, yang dijual di Maluku.[7] Hubungan antara para pedagang Maluku Utara dan para pedagangn Sulawesi sudah terjalin sejak lama. Para pedagang dari Sulawesi mendatangi Maluku untuk menjual barang-barang dagangan, begitu juga sebaliknya. Pada saat itu peraira Maluku/Maluku Utara dan Sulawesi telah ramai dilalui kapal-kapal dagang. Secara teritorial ada batasan-batasan wilayah antara perairan Sulawesi dan Maluku Utara, namun pada dasarnya kedua wilayah perairan itu masih dalam satu jalur yang berkesinambungan. Kota-kota dagangan di Sulawesi dan Maluku Utara pada dasarnya menjadi tempat para pedagang untuk saling bertransaksi dimana pusat perdagangan itu saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Ternate sebagai sala satu pusat perdagangan di Nusantara bagian timur, banyak didatangi oleh pedagang baik local maupun asing. Para pedagang makasar-bugis membawa barang dagangan berupa bahan-bahan katun, mesiu, emas, dan lain-lain. Uang perak, pala, dan hasil laut. Barang-barang ini kemudian ditukar dengan rempah-rempah yang kemudian oleh para pedagang tersebut dibawa ke pusat perdagangan baik di Sulawesi sendiri bahkan sampai ke Batavia. Jaringan sosolot yang merentang dari Banda dan Kepulauan Aru banyak didatangi para pedagang dari luar, selain Bugis dan Makassar, Sumba, Timor, Bali, Raja Ampat, Onin, dan Jawa, jaringan yang menghubungkan Laut Seram dan Gorom itu terjadi hubungan tukar-menukar barang perdagangan seperti tenun dan barang-barang dari besi untuk ditukar dengan produk-produk lainnya. Pedagang-pedagang Seram Timur sering meminjam sekitar dua puluh sampai empat puluh kapal dari orang-orang Makassar dan Bugis yang menjelajah sampai Massoi dan Papua Nugini. Setuju pada pendapat A.B Lapian yang mengatakan bahwa sejak abad ke-16 perahu-perahu besar telah membawa barang-barang dagangan dalam jumlah besar menuju ke tempat-tempat yang jauh. Semakin jauh perjalanan semakin mewah barang yang dibawa. Pada abad ini pula Banda telah mengimport kain dan tenunan halus dari negeri-negeri Asia di sebelah barat yang telah dibawa oleh kapal-kapal Portugis. Kapal-kapal kecil dari Jawa dan Melayu membawa tenunan kasar. Menurutnya pula bahwa Raja Gresik sering memborong kain-kain halus dan sutra dari para pedagang kemudian dijual kembali atau dieksport ke Banda dan tempat-tempat lain di Maluku. Tenunan kasar diperdagangkan ke Banda, karena dari negeri ini juga didatangi para pedagang dari Halmahera, Raja Ampat, Ternate, Tidore, Timor, Sumbawa. Dari para pedagang Halmahera dan Papua dapat ditukar dengan sagu dan rempah-rempah. Sagu selain menjadi makanan pokok orang Maluku juga sering dibeli oleh para awak kapal karena dapat disimpan dalam waktu yang lama sebagai bekal perjalanan. Menurut Tome Pires, sagu dan lada pada waktu itu juga dapat dipakai sebagai alat bayar.[8] Banda sebagai tempat perdagangan yang didatangi oleh para pedagang dari banyak daerah telah membuat Banda sebagai kota pantai yang penting dalam perdagangan maritim. Orang-orang Banda sendiri tidak hanya menunggu kedatangan para pedagang dari luar akan tetapi juga sering melakukan perjalanan untuk berdagang sampai Jawa dan Malaka, bahkan di Malaka ada syahbandar yang khusus mengurus kepentingan orang-orang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filiphina. Disebutkan bahwa perahu-perahu orang-orang Banda sebagian besar awak kapalnya terdiri dari budak-budak, namun pelayaran orang Banda ini mendapat catatan buruk, awak kapal sering melompat menceburkan diri sebagai upaya penyelamatan apabila terserang bahaya. Persaingan dengan kapal-kapal dari luar Banda juga menyebabkan pelayaran jauh orang-orang ini tidak bertahan lama.[9] Terdapat hubungan dagang orang-orang Maluku, VOC dan para pedagang dari Batavia, Ternate, Tidore, Makassar, Manado, Timor, Sumba, Bali, Boetoeng, Surabaya, dan wilayah-wilayah di Jawa. Muatan kapal yang keluar dari Perairan Maluku berbeda dengan muatan yang masuk ke wilayah ini. Pada masa ini setiap perahu atau kapal yang pergi dan keluar agar aman dan dianggap resmi maka masing-masing diberi pasenlijs (semacam surat ijin perjalanan yang diberikan oleh pemerintah). Hal ini merupakan kebijakan dari VOC untuk memantau perdagangan di wilayah Maluku. Monopoli rempah-rempah yang telah ditanamkan sejak dulu selalu dijaga agar tidak hancur oleh masuk dan pergi para pedagang asing maupun lokal. Para pedagang asing yang datang ke Ambon dan Banda terdiri dari berbagai negara seperti Coromandel, Eropa, India. Dari para pedagang inilah para perkenier mendapatkan bahan-bahan makanan, pakaian, senjata, peralatan pertukangan, peralatan perkebunan, anggur, sayuran, daging, roti, keju, mentega, dan bahan-bahan makanan lain yang cocok untuk para perkenier dan keluarganya. Walaupun begitu, pedagang lokal dari Makassar, Bugis, Manado, Raja Ampat, Ternate, Timor, Jawa, dan Melayu juga berhubungan dengan para perkenier dalam memasok makanan, bulu binatang, dan budak. Pedagang dari Ternate atau Raja Ampat sering menjual sagu, pinang, tripang, masoi, dan hasil-hasil laut lainnya. Pada dasarnya makanan pokok orang-orang Maluku sejak dahulu adalah sagu, sehingga para perkenier memberikan sagu kepada para budaknya sebagai pengganti nasi atau roti. Sementara itu pinang merupakan suatu kesukaan orang-orang Maluku dan Papua yang digunakan untuk menginang[10]. Bahkan menurut cerita orang-orang di Weda Maluku Utara, dahulu orang-orang dari Raja Ampat menukar budak dengan buah pinang. Dari Coromandel mengajukan permintaan secara resmi berupa kapas, dan katun dengan berbagai warna dan corak, sedangkan dari Bangladesh berupa kain katun. Dari para pedagang Eropa permintaan berupa sikat, benang, jarum besar, tempat untuk melebur emas, tembaga, lempengan logam, balok logam atau kayu untuk penahan lantai, kain untuk budak, lempengan timah, kunci dan gerendel, timbangan, uang logam, wol berbagai warna; merah, abu-abu, hitam, lampu duduk, topi bulat. Sementara permintaan berupa bahan makanan seperti keju, susu, daging, gula-gula yang sudah diasapi, mentega beku, berbagai anggur, bir, gandum, selai buah plum, minyak zaitun, cuka Belanda, dan keramik.[11] Dari pedagang India didapatkan barang-barang seperti beras, gandum, garam, buah asam, arak, kacang-kacangan, dan anggur madeira. Sementara para pedagang India ini membawa barang-barang dagangan lain seperti lentera bulat, catun, Rotan Jawa, sabun, lilin putih, lampu, minyak kelapa, kain linen perempuan Jawa warna biru, dito-dito, selop atau sandal kain untuk di rumah sakit, keju oles, benang warna biru dan putih, dan keris untuk peralatan militer.[12] Pada dasarnya barang-barang yang dibawa para pedagang dapat dikelompokkan pada beberapa keperluan yaitu untuk keperluan administrasi dan penjilidan buku, bahan-bahan meterial untuk perumahan dan perkebunan, alat-alat perlengkapan perjalanan baik untuk laut maupun darat, persenjataan dan perlengkapannya, peralatan untuk kesehatan yang digunakan oleh orang-orang Belanda dan rumah sakit di dalam kastil, perlengkapan untuk pasukan militer, serta yang terutama untuk keperluan rumah tangga.[13] Dapat dimengerti jika pada abad ke 17 – 19 Perairan Maluku ramai dikunjungi oleh banyak pedagang yang berakibat timbulnya kota-kota pantai seperti Ambon, Banda, Makasar dan Ternate berkembang menjadi kota pantai penting dan menjadi tujuan para pedagang untuk melakukan transaksi. Kebudayan Maritim Interaksi antar suku bangsa sudah terjadi sejak dulu kala. Proses hubungan timbale balik ini berlangsung dalam berbagai bentuk. Baik dengan perang maupun lewat benuk persekutuan dan persahabatan. Sehingga hubungan antar suku bangsa terutama lalu lintas perdaganga dapat berjalan dengan baik. Proses interaksi ini menjadi bagian dari sejarah ummat manusia, terutama dalam dunia perdagangan. Dalam sejarah kebudayaan maritime Indonesia, hubungan dagang dalam bentu tukar menukar barang yang menjadi kebtuhn pkok manusia di era tersebut. Proses tukar enukar barang ini baik dilakukan di darat maupun lewat lautan, pada poin kedua ini di butuhkan kemampuan berlayar para pedagang. Dalam dunia kemaritiman, perahu dan kemapuan navigator adalah dua hasil kebudayaan manusia dengan tujuan yang sangat sederhana yakni mampuh mengarungi samudra. walaupun Maluku utara memiliki potensi rempah-rempah, namun para pedagang asing dan eropa yang endominasi perdagangan di negeri ini. Dari sekian banyak suku bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi hanya beberapa saja yang mengemangkan kebudayaan bahari yang cukup maju sehingga dapat menyelengarakan pelayaaran jarak jauh. Walaupun dari awal proses ini, jarak pelayaran tidak jauh, sehingga kemapun navigator juga kurang begitu brkebang. Para pedagangn asing yang datang dari berbagai penjuru dunia, baik Cina, Gujarat, Persia, dan bangsa eropa dengan berbagai bentuk mode perahu atau kapal. Dalam kebudayaan maritime Sulawesi Utara, tidak begitu berkembang. Namun, di sini jenis perahu yang ditemukan berbagai variasi, terutama dalam bentuk cadiknya. Sehingga Sulawesi Utara dan Sangihe – Talaud dan kepulauan sulu dalam satu wilayah sebagai penyebaran berbagai macam cadik. Nama perahu dalam berbagai bentuk dan berbagai bahasa yang di berikan di Minahasa, misalnya Londei, perahu ini mempunya cadik (sema-sema) yang ganda. Ada pula sampan dalam bentuk kecil namun tdak bercadik yang disebut beloto, atau baloto, dan ada bentuk lain yang disebt tembiling, di Kalimantan timur, jenis perahu yang dikenal di darah ni adalh jukung, lumbung dan gubang. Sedangkan di daerah sabah di kenal dengan dapang dan lipa-lipa. Perahu ini di pakai oleh orang Bajau di Sampurna, sedang perahu dapang berasal dari kepualuan sulu. Disini ada bukti lagi bahwa ada hubungan antara pantai timur Kalimantan denga daerah Filipina selatan. Di Filipina juga ada ditemukan yang menurut Spoehr dengan nama vinta. Selain itu ada perahu yang terbuat dari papan dengan nama balanghai atau barangai. Ada pula perahu yang menurut dalam bahasa sasahara seprti malimbatangeng, Bangka, pato, dalukang. Menurut kpercayaan tradisonal bahwa prjalan dengan perahu tersebut bisa di halangi oleh jin laut, maka nama perahu harus jangan di sebut, jenis perahu ini seperti dorehe an korakora di Maluku utara, jenis perahu coracoa di Filipina selatan juga berasal dari Maluku Utara. Imigrasi : Sebuah dampak Perdagangan Kedatangan bangsa Cina, Arab, Persia, Gujarat dan dari Jawa, tidak terlepas dari proses perdagangan. Kedatangan para pedagang Arab ke Maluku Utara sudah terjadi di abad ke -7, ketika mamfaat cengkeh semakin penting di kala itu. Kedatangan mereka secara individu untuk berdagangan. Mereka membawa berbagai perlengkapan seperti tekstil dan kebutuhan lainya yang tidak ada di Maluku Utara, mereka menggantikanya dengan cengkeh dan pala. Proses ini semakin bekembangn dan para pedagangn Arab semakin bertambah hingga terbentuklah komunitas-komunitas kecil. Proses ini terus berlanjut hingga melembaganya Islam di kerajaan di Maluku Utara. Perubahan strultur perintahan dari system kerajaan menjadi kesultanan memperkuat komunitas Arab di negeri ini. Dan tercatat dalam sejarah bahwa pemukiman Arab terbanyak yakni di kelurahan Falajawa 1 di kota Ternate. Selain berdatanganya para pedagang Arab, bersamaan dengan abad tersebut datangalah para pedagang Cina, dengan tujuan yang sama yakni berdagang. Dari cina mereka membawa tektil, tembikar, dan bahan-bahan kebutuhan lainya dan ini semuah di pertukarkan dengan hasil alam di Maluku Utara. Para pedagangan cina kemudian menjadi komunitas dan bermukim di kelurahan yang sekarang di beri nama kampong Cina. Pemukiman orang Cina terdapat disebelah selatan dan sebelah utara benteng Oranje (pusat kota) dan komunitas ini berkembang hingga sekarang. Selain itu, ada juga komunitas dari Jawa, mereka datang bersamaan dengan para pedagangan dari cina, arab dengan tujuan yang sama yakni berdagangan. Dan komunitas mereka juga sekarang ada di Kota Ternate. Kedatangan bangsa timur bukan saja para pedagang cina, arab, dan jawa, tetapi juga para pedagagan dari Gujarat dan Persia, tetapi mereka tidak mampu membangun komunitas yang bisa bertahan bahkan menjadi basis di negeri ini. Hal ini dikarenakan ketika kedatangan bangsa eropa di abad ke 16, menyebabkan para pedagangan memilih untuk balik berdagangan di wilayah jawa dan sebagianya pulang ke negerinya. Hubungan Ternate dan Manado Dalam berbagai catatan sejarah, Manado telah didiami sejak abad ke-16. Pada abad itu juga Kota Manado telah dikenal dan didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Sehingga nama Manado mulai digunakan secara ramai pada tahun 1623 menggantikan nama "Wenang". Kata Manado sendiri berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu “Mana rou” atau “Mana dou” yang dalam bahasa Indonesia berarti "di jauh". Potensi utama saat itu hingga dikenal oleh Bangsa Eropa yakni hasil buminya yakni Padi dan Kopi. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah. Tahun 1658, seperti penjajahan belanda d daerah lain, VOC membuat sebuah benteng di Manado selain sebagai pusat pertahanan dari serangan musuh, benteng juga memiliki tujuan ganda yakni pusat penyimpanan rempah – rempah dan perdagangan. Belanda sebelumnya sudah pernah mengunjungi Minahasa. Maksud mereka yang utama ditujukan pada perdagangan beras (1607-1608). Pada tahun 1614 Belanda menempatkan suatu kekuatan yang terdiri dari tujuh serdadu di Manado, yang ditinggalkan beberapa waktu kemudian. Sejarah juga mencatat bahwa salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro pernah diasingkan ke Manado oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830. Biologiwan Inggris Alfred Wallace juga pernah berkunjung ke Manado pada 1859 dan memuji keindahan kota ini. Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado, yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974[14]. Mengkaji sejarah perjalanan Minahasa tidak terlepas dengan kehadiran Spanyol, walapun kedatangan bangsa eropa bukan hanya Spanyol tetapi juga Portugis dan Belanda. Pada abad pertengahan, kedua negeri Hispanik ini terlibat saling berlomba mengembangkan kekuatan maritime dan semuahnya akibat dari keinginan untuk menguasai hasil rempah-rempah di maluku. Persaingan yang bermula dipesisir Afrika Barat dimana perdagangan yang dikuasai oleh Islam moro memaksa mereka harus keluar untuk mencari kepulauan rempah-rempah yang menyebabkan mereka sampai ke Maluku Utara dan perairan laut Sulawesi. Pada tataran ini, Minahasa memegang peranan sebagai lumbung beras bagi Spanyol ketika melakukan usaha penguasaan total terhadap Filipina. Selain Spayol yang menjadikan padi sebagai kekuatan utama untuk menguasai Filipina, Kedatangan orang-orang Belanda ke Nusantara pada tanggal 13 Desember 1599 untuk berdagang, memperluas kekuasaan dan penyebaran agama Tuhan. Pada factor ekonomi, penguasaan Padi di Minahasa adalah bagian dari tujuan tersebut. Hal ini dikarenakan saat itu, Manado memiliki Padi yang cuku banyak. Padi tersebut kemudian di perdangkan baik oleh para pedagang local, maupun para pedagang Belanda. Para pedagang local membawa padi ke Ternate untuk di tukarkan dengan sagu dan rempah-rempah lainya. Selain ke Ternate, para pedagang local di Sulawesi utara khususnya Manado juga menjual hasil alamnya ke Makasar dan pusat-pusat perdagangan di bagian timur yakni ternate dan banda. Secara politik, hubngan antara Manado dengan Ternate secara aktif terjadi ketika terjadi perlawanan masyarakat Minahasa terhadap Spanyol yang telah menyakiti hati mereka maka pada tahun 1644 berangkatlah delapan orang pemimpin Minahasa ke Ternate untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang Belanda. Namun misi mereka di tolak oleh para penguasa Belanda yang telah berkuasanya di Maluku. Utusan kedua pun dikirim pada tahun 1653. Karena permintaan raja Ternate, maka permintaan para utusan Minahasa itu di kabulkan dan Gubernur Seroye mengirim kapal Egmont di bawah kapten Paulus Andriessen dengan tujuh puluh serdadu Belanda dan 50 orang Mardyeker dalam beberapa kora-kora Ternate menuju Minahasa. Rupanya orang-orang Ternate tak membantu dengan sepenuh hati. Hal itu berlaku sebagai akibat kekalahan pasukan gabungan Belanda. DAFTAR PUSTAKA Amal,M Adnan. 2007. Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Makasar : Nala Cipta Litera Alwi,Des. 2005. Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambo. Jakarta : PT Dian Rakyat Lapian, A.B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke- 16 dan 17. Jakarta : Komunitas Bambu Lapidus, Ira.M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Polinggomang, Edward L. Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad Ke-19, 1991, (Disertasi) : Vrije Universitet Amsterdam Ricklefs.M.C. 2005. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspani Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak Vlekke. Bernard H.M. 2008. Nusantara sejarah Indnesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia http/www.maritimsulut.com. Akses 03 Mei 2010 http:/artolpha.anu.au/web/arc/resources/pacifis/maluku utara. [1] Makalah yang di sajikan pada Dialog Studi Sejarah yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Khairun Ternate di Aula Universitas Sam Ratulangi Manado pada tanggal 22 Mei 2010 [2] Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate [3] Sumber Internet http.www.maritmebangka.com./degal/came/.sulawesi utara. [4] H. Adnan Amal. Kepulauan Rempah-rempah perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. (Gora Pustaka Indonesia).hlm 231 [5]Bernard H.M Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, Kuala Lumpur Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1967, hlm. 54. [6]Lihat Edward l. Polinggomang, Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad Ke-19, 1991, Disertasi Vrije Universitet Amsterdam, hlm.19-20 [7]R. Z. Leirissa, “Maluku Tengah dalam Abad Ke-19”, dalam Prisma No. 8 Agustus 1980 Tahun IX. [8]A. B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke- 16 dan 17, Jakarta : Komunitas Bambu, 2008, hlm. 82 -81. [9]Ibid. [10]Orang Jawa sering memakan daun sirih, gambir, sedikit batu kapur, dan sebagai pembersih digunakan tembakau. Inilah yang disebut nginang dalam istilah Jawa, sedang orang-orang Indonesia Timur menginang menggunakan buah pinang. [11] ANRI, Arsip Banda, No 69. [12] Ibid. [13]Ibid. Dari arsip ini dapat dilihat berbagai macam barang dagangan yang dapat dikelompokkan dalam berbagai keperluan. [14] Sumber http/www.maritimsulut.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar