Senin, 26 November 2012

Wisata Bencana di Lereng Merapi

REVIEW II EKOWISATA “BENCANA” KAJIAN WISATA DI LERENG MERAPI Penulis : Heddy Shri Ahimsa-Putra Oleh : Ajuar Abdullah Wisata bencana adalah salah satu wisata yang banyak menimbulkan kontraversi karena terkesan tidak etis. Karena wisata bencana identik dengan bersenang-senang di atas penderitan orang lain. Dalam artikel ini, Prof Heddy mengatakan bahwa berbagai kontraversi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat, seperti di daerah Carolline yang paling rusak tersapu oleh badai. Di indonesia munculnya konsep wisata bencana berawal dari gempa bumi yang memporakporandakan sejumlah desa di Bantul, Yogyakarta dan juga Klaten beberapa tahun lalu dan juga meletusnya gunung merapi yang sempat menewaskan salah satu juru kunci yang pada sebelumnya sempat menjadi sala satu pablik figur karena selamat dari letusan merapai sebelum letusan dasyat di tahun 2010. Keberadaan gunung merapai sebagai bekas sebuah gunung yang meletus, menjadi daya tarik tersendiri. Penelitian ini, menampilakn realitas yang muncul dikawasan sekitar desa Umbulharjo, kecematan cangkringan di lereng gunung merapi. Sebagian besar orang berbondong-bondong untuk mengunjungi desa tersebut untuk menyaksikan dampak kerusakan akibat letusan gunung merapi. Kawasan Umbulharjo sebelum letusan adalah salah satu desa atau kawasan terlarang dan berbahaya, namun pasca letusan berubah menjadi sebuah kawasan yang penuh dengan pengunjung dari berbagai daerah bahkan luar negeri. Desa Umbulharjo kemudian ramai menjadi pusat perhatian orang. Namun kedatangan wisatawan tersebut selain menjadi sebuah berkah tetapi juga menjadi masalah. Hal ini dikarenakan muncul berbagai problem seperti temat parkir, WC dan rumah makan dan juga fasilitas dan menajemn desa tersebut sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk para pengunjung. Untuk merespon perubahan tersebut, maka penelitian yang dilakukan oleh Prof Heddy ini sangat penting untuk mengetahui bagaimanakh pengetahun masyarakat untuk merespon perubahan tersebut? Untuk mengetahui fenomena perubahan budaya tersebut, maka penulis menggunakan kerangka teori Etnosains yang berasumsi bahwa setiap orang, individu memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda mengenai hal yang sama. Satiap individu adalah khas, baik dalam pandangan-pandangannya, nilai-nilai maupun norma yang dianutnya, maupun dalam pola-pola prilaku sehari-hari. Namun, perbedaan pendapat tersebut juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana masyarakat dengan segenap norma dan aturan ynag berlaku mempengaruhi pikiran individu dengan jalur komunikasih. Dengan menggunakan paradigma etnosains, sebagain besar ahli antropologi kini menyadari bahwa data dan cara analsisi mereka harus berbeda. Sehingga muncul berbagai nama-nama yang ditunjukan kepada etnosains, seperti “The New Ethnography” dan berbagai nama lainnya. Dalam artikel ini, peneliti menganalisis fenomena respon kepariwisataan pendduk Desa Umbulharjo-terutama penduduk Padukuhan Plemsari dan Pangukrejo terhadap ketangan wisatawan yang begitu banyak dalam waktu bersaman. Dengan berbagai objek wisata yang ditimbulkan akibat letusan merapi menimbulkan respon dimasyarakat . menurut Prof Heddy, respon inilah yang akan memberikan mereka keuntungan dari kedatangan wisatawan tersebut. Fenomena respon untuk mengembangakn pariwisata di desa tersebut adalah etnowisata yang berati sebagai perangkat pengetahuan dan aktivitas yang muncul dan dikembangkan oleh suatu masyarakat berdasarkan atas pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai situasi dan kondisi yang dihadapi untuk menyambut dan melayani para wisatawan yang mengunjungi desa tersebut. Inilah yang memposisikan cara pandang yang lebih rasional bahwa bencana bukan hanya dilihat secara negatif, tetapi juga bencana bisa dilihat secara positif yakni sebagai peluang untuk mengembangkan pariwisata. Dengan perkembangan paiwisata tersebut, bisa membantu masyarakat di desa tersebut untuk melakukan pembangunan kembali desanya dan memperbaiki kehidupanya kembali. Desa Umbulharjo terletak di lereng gunung berapi bagian selatan. Secara adminitrasi desa ini merupakan salah satu desa di kecematan Cangkringan, kabupaten Sleman yang terletak diwilayah DIY. Sebagian besar tanah digunakan untuk sawah, ladang, bangunan dan juga jalan serta bantaran kali. Selain itu, penggunaan lahan diperuntukan untuk kebutuhan. Mata pencarian masyarakat di desa Umbulharjo umumnya menjalankan usaha peternakan sapi, pertanian, perikanan dan juga hutan rakyat. Masyarakat di desa tersebut yang sebagian besar beragama islam hidup rukun dan berdampingan secara damai. Agama mereka diperkuat juga dengan tradisi masyarakat yang telah ada sejak turun temurun seperti upacara Labuhan. Sejak letusan merapi, muncul kebiasan baru yakni renungan. Meletusnya Merapi bukan berarti mematahkan semangat masyarakat desa, hal ini bisa dilihat dari aktifnya berbagai organisasi sosial seperti RT, RW, Karang taruna, arisan, kenduri, tahlilan. Organisasi ini aktif dengan tujuan untuk mebahas masalah yang ada di amsyarakat baru saja ditimpa bencena tersebut. Kini pasca letusan kondisi desa sudah semakin baik, dan banyak yang mengalami perubahan. WISATAWAN DI KINAHREJO DESA UMBUHARJO Menurut Prof Heddy, meletusnya merapi di tahun 2010 yang lalu merupakan salah satu peristiwa fenomenal di Indonesia. Sejak letusan tersebut, merapi banyak dikunjungi oleh masyarakat baik yang berasal dari Yogyakaarta, daerah lain, juga berasal dari luar negeri. Kedatangan mereka hanya untuk melihat akibat yang ditimbulkan dari peristiwa alam tersebut. Untuk merespon hal ini, masyarakat di Pelemsari, Pangukrejo mendirikan paguyuan Kinahrejo untuk mengelolah wisata didesanya. Sedangkan Tim Volcano Tour juga berperan mengelolah wisata Tiban. Pada awalnya, respon masyarakat hanya sebatas mengantarkan para pengunjung ke tempat yang ingin ditujuh, dengan menggunakan sepeda motor. Kehadiran ojek tidak terlepas dari fenomena ini. Setelah kehadiran ojek, selanjutnya masyarakat mendirikan warung-warung kinahrejo dan restoran kinahrejo. Respon ini diberikan dengan tujuan agar perekonomin masyarakat segerah membaik kembali seperti semula. Dengan kehadiran pengunjung yang semakin banyak, maka warga setempat memberikan kategorisasi pengunjung yaitu : wisnus, wisman, mapala dan relawan. Hubungan antara para mapala dengan warga setempat cukup bai, hingga mereka bersama mendirikan rumah mbah pujo yang dapat digunakan sebagai gardu volcano tour. Waktu kunjungan wisatawan ke desa kinahrejo dibagi menjadi dua yaitu ramai dan sepi. ETNOWISATA DI KINAHREJO DESA UMBULHARJO Pemandnagan alam yang ada di daerah Kinahrejo sangat mengagumkan, karena dengan puncak merapi dengan pemandnagan lahar disebelah utara yang begitu indah. Lenscap yang mengagumkan tersebut, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatwan. Kedatangan para wisatwan untuk menikmati pemandnagan alam, menimbulkan respon dari warga setempat dengan menggas sebuah paguyuban yang diberi nama paguyuban Kinahrejo. Dengan paguyuban tersebut, masyarakat mengelolah pontesi yanga da di desa bersama dengan lembaga-lembaga terkait. Atraksi wisata yang ada di umbulharjo seperti bekas-bekas awan panas yang menerpa desa tersebut serta bekas lahar dingin yang menetupi sebagian besar areal disitu merupakan atraksi yang paling menarik. Selain itu juga, terdapat bekas reruntuhan rumah penduduk, harta benda, serta bekas tempat tinggal mbah Marijan. Berbagai atraksi wisata ini ada dikarenakan fenomena alam yang terjadi beberapa tahun lalu yakni melestusnya gunung Merapi. Dengan keberadaan berbagai objek wisata ini, maka untuk mengelolahnya, masyarakat setempat membuat paket wisata yang berdasrkan dengan pengetahuan mereka. Karena masyarakat setempat lebih mengetahui jenis-jenis wisatawan yang datang. Paket wisata yang dibuat sangat beragam sesuai dengan objek daya tarik yang ada di desa tersebut yang sebagian besar adalah berhubgngan dengan kebuadayan masyarakat, sehingga paket tersebut sering disebut dengan paket etnowisata. Dalam paket etnowisata tersebut, atrakasi yang tawarkan seperti rumah penduduk, rumah tokoh lokal, wisata trail, dan beberapa tempat yang dianggap penting seperti kuburan, daerah aliran awan panas, dan pos-pos informasi. Rute yang digunakan oleh para pengojek dari pos ojek menuju puncak Kinah selanjutnya ke rumah mbah maridjan. Selain itu, fasilitas yang tersedia seperti rumah ibadah, toilet umum, tempat parkir, dan juga tempat berjualan. Begitu juga dengan berbadagi bentuk layanan etnowisata seperti layanan jualan 1, jualan 2, dan juga layanan jasa antar pandu. KESIMPULAN Menurut penulis, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian tersebut yaitu, pertama : masyarakat desa Umbulharjo mengalami kerusakan parah akibat letusan gunung berapai. Dampak yang ditimbulkan tersebut kemudian menjadi daya tarik wisata di desa itu, dan masyarakat merespn perubahan tersebut dengan baik. Kedua, perkembangan etnowisata dibangun berdasarkan pengetahuan masyarakat. Ketiga, fasilitas yang disediakan masih jauh dari baik, sehingga penataan ruang masih jauh dari harapan. Keempat, aspek pelayanan terhadap para wisatawan terutama wisatawan asing kurang baik, karena kendala pada bahsa. Kelima, belum ada rancangan program jangka panjang yang dilakukan oleh maysarakat untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi. ANALISIS KRITIS Berdasarkan hasil penelitian ini, maka ada beberapa catatan yaitu : Kelebihan Ada beberapa kelebihan yang ada dalam tulisan ini yaitu : pertama bahwa point penting yang ada dalam tulisan ini adalah, penulis dengan sandaran teori etnosains mampu menggambarkan dan mendeskripsikan berbagai respon masyrakat terhadap perubahan yang terjadi akibat letusan gunung berapai dengan menggunakan kemampuan pengetahuan lokal masyarakat. Kedua, metode yang digunakan yakni deskripsi analisis sangat bagus dan layak untuk diterapkan dalam menganalisis perubahan masyarakat di lereng merapi. Ketiga, penulis menggabungkan antara metode kualitatif maupun kuantitatif dalam penelitian ini, sehingga data yang ditemukan dan diperoleh dilapangan danagt akurat. Hal ini seperti bisa dilihat dari angka-angka yang ada dalam jurnal ini yang bisa ditafsirkan dengan berbagai pendekatan. Keempat, penulis memuat dan menemukan hal-hal yang dianggap oleh sebagian orang cukup sederhana, tetapi bagi penulis sangat luar biasa jika dikaji dalam perspektif antropologi dimana terjadi perubahan pengetahuan atau perubahan budaya yang terjadi di masyarakat. Seperti sebelum meletus dan setelah meletus yakni munculnya paket wisata, karcis dan berbagai fasilitas yang ada di desa tersebut. Kelemahan Kelemahan yang ada dalam penelitian ini adalah pertama, sebagain kata-kata dengan penggunaan bahasa lokal tidak dijelaskan seperti wong jobo, wong asli, dan beberapa kata asing lainnya.

Review Artikel Pariwisata di Desa Wisata Brayut

REVIEW PARIWISATA DI DESA DAN RESPON EKONOMI : KASUS DUSUN BRAYUT DI SLEMAN, YOGYAKARTA Penulis : Heddy Shri Ahimsa-Putra (Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada) Oleh : Ajuar Abdullah PENDAHULUAN Pariwisata adalah sebuah fenomena. Kalimat ini tidak terlepas dari realitas yang ada dalam dunia kepariwisataan saat ini yang penuh dengan paradoks. Baik berupa dampak negatif dari pariwista seperti ekonomi, sosial, budaya maupun dampak positif yang ditimbulkan dari pariwisata itu sendiri. Ada begitu banyak riset dari para ilmuan dari barat yang telah melakukan kajian terhadap dampak baik positif maupun negatif dari pariwisata. Namun indonesia, sebagai negara yang memiliki potensi wisata yang cukup berlimpah, kajian dengan pendekatan kritis masih kurang dilakukan. Sebagian besar penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kuantitatif kurang memuasakan, karena yang dianalisis hanyalah gambaran kulit dari sebuah persoalan, sehingga substansi dari kehidupan masyarakat desa tersebut belum disentuh secara maksimal. Fenomena ini juga berlaku dalam berbagai kajian mengenai desa wisata yang ada di yogyakarta. Permasalahan yang dikaji masih seputar motivasi dibentuknya desa wisata, dan gambaran umum dari desa yang dikaji, sehingga roh dari desa wisata tersebut tidak terbaca ke publik. Padahal sangat urgen untuk menampilakan atau membahas permasalahan yang sebenarnya yang dihadapi oleh masyarakat di desa wisata. Salah satu penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yang lebih kritis dan menyentuh persoalan di masyarakat adalah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra yang mencoba untuk menganalisis dan menjawab permasalahan yang terkait dengan desa wisata di Dusun Brayut seperti respon masyarakat terhadap kehadarian pariwisata, dan apakah respons tersebut telah memadai atau masih mengalami kekurangan? Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan yakni kualitaif-deskritptif dengan memakai paradigma antorpologi. Paradigma antropologi mencoba untuk mengasumsikan manusia memiliki kesadaran mengenai berbagai fenomena yang ada disekitarnya, baik fenomena sosial, budaya, politik dan ekonomi, dan bagaimana manusia merespons fenomena tersebut. Dalam artikel ini, teori yang digagas oleh Long (1977:129) yang dijadikan pisau analisis dari kebijakan atau keputusan manusia ketika berhadapan dengan fenomena yang ada. Teori Long yang secara langsung adalah seorang penganut aliran Interaksionisme simbolik sehingga cenderung mengasumsikan bahwa setiap orang atau aktor akan merespon berbagai fenomena yang ada disekitarnya, bebas untuk memilih pilihannya sendri, karena yang dihadapi oleh aktor adalah berbagai kemungkinan yang harus dipilih, dan juga berbagai pilihan tersebut memiliki akibat baik positif maupun negatif. Dengan pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa respons masyarakat di Dusun Brayut bisa didekati dengan metode pengambilan keputusan. Model-model yang dipakai seperti economic man dan juga rational man akan berhasil menjelaskan fenomena pengambilan keputusan yang ada di masyarakat. Sehingga aktorlah yang menjadi fokus penelitian ini. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN DESA WISATA BRAYUT Untuk membaca kembali sejarah awal mula pembentukan desa wisata Brayut tidak terlepas dari peran aktor yakni salah satu warga dusun yang bernama Budi Utomo pada tahun 1990. Budi yang berlatar belakang sebagai dosen AKINDO dan pengajar di lembaga pendidikan bahasa Indonesia di Turi berkeinginan agar bisa membentuk sebuah wisata arternatif bagi orang asing. Sehingga untuk mewujutkan cita-cita tersebut, Budi kemudian membentuk yayasan yang diberi nama Yayasan ani-ani. Kegiatan dan cita-cita Budi sangat didukung oleh masyarakat setempat. Setelah melewati berbagai proses, maka pada tanggal 14 Agustus 2003, dusun Brayut ditetapkan menjadi desa wisata. Pembentukan desa wisata yang diawali dengan serangkaian kegiatan seperti festival kudapan dan minuman. Selanjutnya adalah pembentukan pengurus dan promosi desa wisata ke berbagai daerah dan negara. Perkembangan desa wisata tersebut mendapat dukungan banyak stakehorders seperti PNPM Mandiri, pemerintah Kabupaten Sleman, mahasiswa KKN, dan juga berbagai lembaga yang terkait dengan pariwisata. Dukungan dari berbagai stakehorders tersebut membuahkan hasil, dimana dari pembentukan sampai dengan tahun 2011, intensitas kunjungan wisatawan terus mengalami peningkatan. Dari hasil penelitian yang dirangkum dalam artikel ini menunjukan bahwa ada kunjungan wisatawan kadang kala mengalami penurunan, namun tidak berlangsung lama. Kategori wisatawan yang datang ke dusun Brayut cukup beragam, seperti mahasiswa, siswa SMA, SLTP, SD, TK dan juga wisatawan umum yang datang dengan berbagai tujuan seperti untuk belajar membantik, menari dan lain-lain. Untuk tetap menjaga kepuasan para wisatawan, maka pialang wisata dan pialang budaya sering dilakukan jika wisatawan yang mengunjungi desa wisata sangat banyak. Dengan keberadaan desa wisata tersebut, berbagai potensi yang ada di desa seperti kebudayaan, pertanian, tradisi, dan juga ruang publik dikormesalisasikan kepada para wisatawan. Usaha komersialisasi potensi desa seperti potensi budaya sudah tercipta sejak awal mula pembentukan Dusun Brayut sebagai desa wisata. Masyarakat dan pihak pengelolah desa berusaha untuk menggeser nilai budaya yang awalnya tidak memiliki nilai jual, kini bisa dikemas dalam bentuk paket dan dijual ke wisatawan. Namun dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tidak semuah potensi desa dapat dikomersialisasi, karena sudah ada hal-hal yang sudah terbiasa untuk dijula, seperti belajar karawitan, belajar tari tradisional, belajar membatik, dan atraksi jathilan. Selain itu, komersialisasi juga terjadi dalam aspek pertanian, dimana membajak sawah, memanen padi dengan menggunakan ani-ani, menanam bibit-bibit padi, menjadi aktifitas yang menarik untuk para wisatawan yang berkunjung ke dusun tersebut. Karena kegiatan seperti itu, tidak ada di tempat asal wisatawan. Sedangkan untuk komersalisasi pada tradisi berlaku dalam tradisi Genduri (bahasa Jawa : kenduren, slametan) adalah upacara atau acara makan bersama yang dilakukan disaat melayakan atau memperingati suatu peristiwa penting. Namun komersalisasi yang dilakukan di Dusun Brayut bukan pada konteks ritualnya, tetapi cara duduk, makanan, wadah tempat makanan, yang dijual kepada wisatawan. Hal ini dilakukan karena genduri memiliki daya tarik tersendiri ketika diatraksikan di lapangan. Kehadiran pariwisata membuka sejuta peluang untuk mendapatkan uang. Hal ini seperti terlihat ketika muncul wisatawan maka pihak pengelolah harus menyediakan rumah atau kamar untuk wisatawan, disinilah muncul komersialisasi kamar. Homestay dengan berbagai aturan yang telah dilekatkan kepada para pemilik rumah tersebut, sehingga semuah proses pengelolah homestay berjalan dengan baik. Komersialisais juga terjadi pada lahan kosong yang ada di desa wisata brayut. Ketika kunjungan wisatwan baik domestik maupun mancanegara semakin banyak, maka dibutuhakn lahan kosong untuk dibangun tempat parkir kendaraan roda dua seperti sepeda motor dan kendaran roda empat seperti mobil, dan juga Bus dengan tujuan agar kendaraan yang masuk dari luar tidak mengganggu kenyamanan desa wisata tersebut. Parkir kendaraan terdiri dari tempat parkir sepeda motor, mobil dan juga kendaran jenis bus dengan uang bayar parkir yang berbeda yakni sepeda motor Rp. 2.000, Mobil Rp 5.000, dan juga Bus Rp 10.000. KESIMPULAN Pariwisata adalah sebuah fenomena yang baru di masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat di Dusun Brayut pada khususnya. Namun, karena ada kesadaran bahwa pariwisata bisa mendatangkan keuntungan ekonomi tersendiri pada masyarakat, sehingga masyarakat bisa beradaptasi dengan fenomena baru tersebut. Penelitian ini yang terfokus pada Dusun Brayut menunjukan bahwa respon masyarakat terhadap kehadiran desa wisata sangat efektif. Hal ini bisa ditunjukan bahwa Dusun Brayut masuk sebagai juara 1 pada lomba desa wisata se-kabupaten Sleman. Respon baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya tersebut bisa dilihat dari kebijakan komersialisasi budaya, tradisi, ruang publik, dan juga pertanian serta intensitas kedangan wisatawan yang setiap tahun terus meningkat. Selain itu, ada juga fenomena pialang budaya dan pialang wisata, semuah ini di lakukan untuk meningkatkan dan memajukan desa wisata tersebut. Namun, dari hasil penelitian ini, diperoleh data bahwa respon terhadap pariwisata ini masih digerakan beberapa orang saja, dan belum ada respon atau tanggapa secara umum yang diberikan oleh masyrakat. Tetapi terlepas dari itu semuah, bahwa respon masyarakat terhadap desa wisata sangat efektif, dan kendala-kendala yang dihadapi dilapangan, seperti modal, minat pada wirausaha, dan juga kedatangan wisatawan yang belum stabil, bisa di perbaiki dan kembangkan agar desa wisata Brayut kedepan semakin maju dan unggul. ANALISIS "Pemikiran penulis akan mati ketika tulisannya di baca orang" karena orang akan dengan cara berpikirnya masing-masing menginterprestasikan berbeda-beda mengenai tulisan tersebut. Bertolak dari ringkasan artikel yang ditulis oleh Prof Heddy Shri Ahimsa Putra tentang "Pariwisata di Desa dan Respon Ekonomi : Kasus Dusun Brayut di Sleman Yogyakarta", artikel yang mengkaji mengenai desa wisata Brayut dengan pendekatan metode partisipasi observasi dan wawancara mendalam. Sehingga menemukan dan mampu menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan tersebut. Menurut saya, dalam konteks metode penelitian, dan landasan teori yang dijadikan rujukan sudah bagus. Namun, terlepas dari itu, ada beberapa hal yang patut untuk dikritisi dalam penelitian dan penulisan hasil penelitin ini. KELEBIHAN Ada kelebihan tersendiri yang di peroleh dari artikel ini yaitu, pertama : metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah partisipasi obeservasi dengan pendekatan antorpologi sangat bagus karena mampu menjawab rumusan masalah yang diajukan secara mendetail. Karena metode ini menekankan peneliti harus hidup bersama dengan masyarakat yang ditelitinya, sehingga bisa mengamati setiap waktu dan setiap hari. Pedekatan seperti ini, memungkinkan hasil penelitain yang diperoleh memuaskan. Selain itu, salah satu teori yang dirumuskan oleh penganut aliran interaksionisme simbolik yakni Long dijadikan oleh penulis sebagai pusau bedah untuk menganalisis fenomena respon masyarakat desa wisata Brayut terhadap pariwisata sangat layak, karena nalar berpikir teori Long sangat relevan untuk menganalisis cara berpikir, budaya dan berbagai aspek kehidupan yang ada di masyarakat dusun Brayut. Kedua, penulis berhasil mendeskripsikan secara mendetail berbagai kegiatan, aktivitas keseharian masyarakat dan respon-respons ekonomi, budaya, dan juga sosial yang ada di masyarakat desa di Dusun Brayut. KELEMAHAN Pertama Fenomena Komersalisasi, dari masalah yang dirumuskan, ada pertanyaan penelitian yang tidak terjawab secara lengkap yakni pertanyaan "apakah respon-respon tersebut berdampak posetif terhadap perkembangan pariwisata di dusun atau sebaliknya?" penulis hanya menjawab respon positifnya, bahwa kehadiran pariwisata direspon positif oleh masyarakat dengan mengkomersalisasikan ruang publik, kamar, budaya dan juga tradisi, serta pertanian, dan berpartisipasi di semuah bentuk program dan kegiatan yang dilakukan di desa wisata tersebut. Terbukti bahwa dengan respon positif masyarakat tersebut, Dusun Brayut berhasil masuk sebagai desa wisata terbaik dan mendapatkan juara 1 pada lomba desa wisata se-Kabupaten Sleman. Namun, peneliti tidak melihat atau mengkaji dampak dari berbagai kebijakan komersalisasi atau respon negatif masyarakat tersebut bagi kelangsungan budaya, tata ruang, dan juga berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam hasil penelitian ini menunjukan bahwa komersalisasi terhadap potensi desa yang dilakukan oleh masyarakat menunjukan bahwa tidak ada respon negatif dari masyarakat terhadap komersalisasi kebudayaan yang seharusnya dipertahankan. Padahal, jika komersalisasi budaya ini dibiarkan terus, maka budaya kehilangan nilai keaslianya, sekalipun sesuatu yang dikatakan asli itu tidak ada dalam kehidupan manusia, tetapi setidaknya, budaya tetap dipertahankan eksistensinya dan tidak diperjualbelikan. Karena jika diperjualbelikan, maka budaya dan tradisi tersebut kehilangan eksistensinya. Dampak negatif inilah yang tidak disoroti oleh penulis tersebut, padahal fenomena ini cukup penting, karena berkaitan dengan keberlanjutan kebudayaan kita ke depan. Kedua, pada sub bab Respon Ekonomi, Ekonomic Man dan Rational Man, penulis menjelaskan arti kata respon dan dampak, yang berbeda maknanya. Menurut penulis, respon adalah tanggapan, sedangkan dampak tidak dijelaskan artinya, namun yang diketahui bersama bahwa dampak adalah akibat dari satu keputusan. Namun yang diteliti oleh penulis hanyalah respon masyarakat, bagi saya jika responnya saja yang diteliti, maka bisa dikatakan penelitian ini tidak valid. Karena setiap respon melahirkan keputusan, dan setiap keputusan melahirkan dampak, baik dampak negatif maupun positif. Sehingga ketiga fenomena ini tidak bisa dipisahkan dalam menganalisis setiap persoalan di masyarakat. Karena, setiap orang akan tetap merespon sesuatu yang dilihat, dialami, sesuatu yang nyata didepan mereka. Apalagi penelitian ini menggunakan teori Long yang penganut aliran Interaksionisme Simbolik, bahwa manusia akan merespon setiap fenomena yang ada diluar dirinya, dan respon tersebut melahirkan keputusan untuk memilih kemungkinan yang ada. Namun setiap pilihanya, akan memiliki akibat atau dampak dari keputusanya itu. Maka salah satu kekuarangan yang ada dalam penelitian ini adalah peneliti tidak menganalisis dampak yang ditimbulakan akibat dari respon yang diberikan. Katiga, satu hal yang kadang tidak disadari oleh sebagian besar penulis adalah bahwa tulisan yang dibuat, akan dibaca oleh orang-orang dengan latar belakan sosial budaya yang berbeda-beda. Sehingga setiap kata asing harus diterjemahkan sesuai dengan pengetahuan penulis. Dalam konteks ini, ada sebagian kata asing yang ada dalam artikel ini tidak diterjemahkan seperti kata gobag sodor, bakiak, sepatu bathok egrang, karawitan, ani-ani, krasan, Keempat, penulis tidak konsisten dalam penggunaan kata, sekalipun kata tersebut mengandung arti yang sama, hal ini bisa diihat dari kata penginapan dan homestay. Jika kedua kata ini digunakan bergantian, seharusnya penulis menjelaskan bahwa kedua kata itu memiliki arti yang sama dan akan digunakan secara bergantian dalam penulisan artikel ini. Sehingga para pembaca awam tidak ikut bingung. Kelima, pada sub pokok bahasan tentang "Dusun Brayut Selayang Pandang" penulis membahas mengenai lingkungan sekitar dusun brayut, bahwa disebelah selatan dusun ini terdapat sebuah SMU negeri, sedangkan disebelah baratnya terdapat sebuah SMP negeri. Namun tidak dijelaskan nama sekolah SMU dan SMP tersebut, sehingga terkesan seperti sebuah tulisan novel.

Desa Wisata di Yogyakarta

KEBIJAKAN POLITIK DESA WISATA TANJUNG, YOGYAKARTA A. Kebijakan Pembentukan Desa Wisata Tanjung Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keindahan yang cukup menarik, sehingga menjadi modal dasar dalam pengembangan sektor pariwisata. Sebagin besar propinsi yang ada di Indonesia telah menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan untuk memajukan daerahnya. Salah satu propinsi yang menjadikan pariwisata sebagai potensi unggulan adalah Yogyakarta yang saat ini memiliki desa wisata berjumlah 42 desa wisata. Salah satunya adalah Desa Wisata Tanjung. Kebijakan atau pengesiatif awal pembentukan desa wisata tanjung berasal dari masyarakat. Tokoh penggerak pertama adalah Hasbullah Ashari dari Tour in Travel. Pemikiran kritis dan sederhana yang di coba lontarkan oleh Hasbullah ternyata melahirkan respons posetif di masyarakat bahwa pada hakekatnya masyarakat desa itu seharusnya kaya, karena pola hidup, budaya, potensi alam, dan apa yang ada di desa bisa di kembangkan dan layak untuk dijual sehingga sudah waktunya masyarakat desa pun bisa menikmati dolar. Gagasan seperti ini bisa di dengar diberbagai kesempatan seperti dialog dan diskusi serta di baca di berbagai buku-buku yang menganalisis tentang masyarakat desa. Namun, gagasan tersebut hanya sebatas ide yang tidak mampu mempengaruhi masyarakat. Karena ide hanya sebatas ide jika tidak di dorong oleh kaum elit, intelektual, dan para akademisi ke masyarakat. Masyarakat tidak mampu untuk merumuskan konsep, tetapi bisa menghayati konsep. Hasbullah dengan gagasan sederhananya mampu mendorong masyarakat untuk berani mengambil keputusan bersama untuk membentuk desa wisata tersebut. Potensi desa tanjung cukup beragam seperti pohon-pohon besar yang bisa dijadikan atraksi, sawah yang sangat luas, kemampuan untuk membatik, kebudayaannya dan potensi lainnya yang semuahnya bisa dijadikan sebagai modal guna mengembangkan desa wisata. Keinginan masyarakat tersebut kemudian direspon oleh pihak pemerintah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman. Pembentukan desa wisata tanjung tidak memperoleh legitimasi berupa Surat Keputusan dari instansi terkait. Tetapi legitimasi yang diberikan tidak secara tertulis, dan yang dimiliki oleh desa tanjung hanyalah Akta notaris. Alasan tanpa SK cukup sederhana, bahwa pembentukan desa tanjung sebagai desa wisata adalah keinginan besar masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi membutuhkan legitimasi tertulis dari pemerintah daerah. Selain itu, di Desa Wisata Tanjung tidak ada aturan tertulis untuk mengatur tentang desa wisata tanjung, yang dimiliki oleh pengelolah hanyalah profil serta Visi dan Misi dan akta notaris sedangkan aturan yang baku untuk tata kelolah desa wisata tidak dimiliki. Sehingga dalam proses pelaksananya, sebagian besar dilakukan bersama dalam mensukseskan setiap program tersebut dengan dikontrol oleh pengurus inti di desa wisata tanjung. B. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Desa Wisata Kebijakan pengembangan desa wisata di Kabupaten Sleman secara umum dan desa wisata Tanjung khususnya dilakukan dengan baik. Berbagai program tersebut tidak terlepas dari aturan atau kebijakan tertulis seperti Dokumen Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPD) Kabupaten Sleman pada tahun 1998 yang menjadi sebuah pedoman untuk memajukan dan mengembangkan Desa Wisata yang ada di Kabupaten Sleman. Di tahun 2000, muncul berbagai Desa Wisata dengan visi yang berbeda. Desa wisata di Sleman sebagian besar lahir atas pengisiatif masyarakat kemudian didukung oleh pemerintah kabupaten dan propinsi DIY. Di berbagai desa wisata, Pemerintah kabupaten sleman memainkan peran penting dalam pengembangan dan tata kelolah desa wisata tersebut. Peran ini berupa pemberian modal dan pengadaan fasilitas untuk melengkapi dan memenuhi kebutuhan yang ada di desa wisata tersebut. Keterlibatan pemerintah daerah yakni Kabupaten Sleman dalam pengembangan desa wisata tanjung dan desa wisata yang ada di Kabupaten Sleman di sesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Daerah No 7 Tahun 2005 tentang RPJP 2006-2025 dan peraturan Bupati Sleman No 14/Per.Bup /2005 tentang RPJM 2005-2010 Kabupaten Sleman memutuskan bahwa pengembangan pariwisata di setiap desa harus berdasarkan potensi, permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat. Jika RPJP Kabupaten sleman di baca secara khusus lagi maka digariskan bahwa dengan keberadaan desa-desa wisata di kabupaten sleman bisa diandalkan sebagai salah satu sektor pemacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Karena dengan keberadaan desa wisata, maka ekonomi masyarakat akan mengalami peningkatan. Ada beberapa program atau kegiatan yang perna dilakukan oleh pemerintah kabupaten Sleman di desa wisata tanjung yakni : 1. Pelatihan dan Pembinaan di Desa Wisata Tanjung Setelah desa wisata Tanjung dipromosikan sebagai salah satu desa wisata di Sleman, maka pemerintah dan lembaga-lembaga terkait melakukan pelatihan dan pembinaan pengembangan Sumber Daya Manusia guna meningkatkan pengetahuan masyarakat di desa wisata terkait dengan seluk-beluk, cara pengelolahan dan mengembangkan desa wisata tanjung. Sejak dibentuk tahun 2009 sampai saat ini, setiap 6 (enam) bulan dilaksanakan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat di desa Tanjung. Kegiatan pelatihan tersebut diikuti oleh pengelolah desa wisata dan masyarakat di desa tanjung secara umum. Metode pelatihan yang diterapkan berupa, penyuluhan dengan praktek secara langsung. Pelatihan yang dilakukan di desa tanjung dimulai sejak tahun 2010, 2011 dan 2012. Dengan berbagai bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh selama pelatihan dan pembinaan tersebut diharapkan agar mereka mampu mengaplikasikan ilmu tersebut ketika ada kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domenstik ke desa wisata tanjung. Pada bulan juli tahun 2010, pelatihan dilaksanakan di Desa Wisata Tanjung, Desa Wisata Sukunan, dan Desa Wisata Garongan. Narasumber yang memberikan materi pelatihan didatangkan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dari Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Forum Komunikasih Desa Wisata, dan beberapa praktisi desa wisata lainnya. Materinya seperti menajemen pengelolahan desa wisata, arah pengembangan desa wisata, tekhis autbond, cara menyambut tamu yang baik, dan bagaimana menyaring budaya luar yang dibawah oleh wisatawan tersebut. Karena paradigma lama yang masih dianut oleh sebagian masyarakat saat ini yang cenderung memandang bahwa pariwisata akan merusak kebudayaan lokal, tetapi paradigma moderen lebih berorientasi positif bahwa pariwisata membutuhkan pengelolahan yang baik sehingga bukan budaya lokal yang mengalami kepunahan, tetapi budaya lokal akan bangkit kembali di tengah perkembangan pariwisata. Berbagai materi diatas diberikan dengan tujuan agar masyarakat tidak terpengaruh dengan kebudayaan luar yang dibawah oleh wisatawan tersebut. Materi pelatihan dan pembinaan tidak terlepas dari kebutuhan yang ada di desa wisata tersebut, seperti bagaimana cara menyambut tamu dengan baik, berkomunikasih dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar dan cara mengenalkan potensi desa kepada wisatwan, pendidikan membatik, dan membuat berbagai macam souvenir. Materi-materi seperti ini diberikan dengan harapan agar masyarakat di desa tanjung bisa terinspirasi untuk mengembangkan dan mampu memaksimalkan potensi yang ada di desanya. Karena selama ini, sebagian besar masyarakat desa belum mengetahui bahwa kebudayaannya, potensi alam yang ada di desanya, adalah harta yang tak ternilai yang dimilikinya, dan jika ini dikembangkan dengan baik, maka kehidupan masyarakat desa akan semakin baik. 2. Fasilitas dan Promosi Pengembangan Desa Wisata Desa wisata yang ada di Kabupaten Sleman yang setiap tahun semakin bertambah dan sampai saat ini berjumlah 42 desa wisata, maka pemerintah merespon dengan memberikan fasilitas pengembangan desa wisata, dengan tujuan untuk memperdayakan masyarakat dan warga yang ada di desa wisata tersebut. Selain itu, kebijakan pengadaan fasilitas ini diharapkan membawa output pada semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke desa wisata di Kabupaten Sleman. Sejak di bentuk desa wisata Tanjung, peran pemerintah cukup signifikan, peran tersebut berupa pembuatan papan data, serta profil desa wisata, selain itu promosi seperti pembuatan leaflet, booklet, travel dialog dan pameran dan festival serta pembuatan papan nama, papan informasi, dan petunjuk arah desa wisata. Semuah ini dilakukan untuk mengembangkan dan mempromosikan desa wisata Tanjung ke berbagai daerah bahkan global. C. Konflik Laten di Desa Wisata Tanjung Dalam suatu masyarakat, konflik sering terjadi. Tidak ada masyarakat yang selamanya aman dan damai, konflik akan selalu mengiringi setiap proses perkembangan dan kemajuan masyarakat. Tetapi konflik tidak hanya berdampak negatif, tetapi juga berdampak positif. Karena dibalik konflik tersebut, masyarakat akan terbuka wawasanya dan bertambah pengetahuanya dalam memahami setiap fenomena hidup yang terjadi sehingga mampu melahirkan solusi yang lebih kritis dan bijaksana. Dalam konteks ini, di Desa Tanjung, salah satu desa wisata yang menyandang predikat desa wisata terbaik kategori berkembang se-Kabupaten Sleman tahun 2010, ternyata tetap menyimpan potensi konflik. Beberapa tahun lalu, desa wisata Tanjung dikelolah oleh dua kepengurusan. Satu pengurusnya bernama Tanjung Wisata, dan kepengurusan yang satunya adalah Dewita. Konflik dingin tersebut terjadi hanya karena perbedaan persepsi antara kepengurusan Tanjung wisata dengan Dewita, yang masing-masing memegang pendapat yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mengelolah desa wisata tersebut. Kepengurusan Dewita menganggap bahwa mereka yang layak untuk menggunakan nama Tanjung Wisata dan mengelolah desa tersebut. Namun pada sisi yang lain kepengurusan Tanjung Wisata merasa kecewa atas ketidaktransparansi kepengurusan Dewita dalam pengelolahan keuangan desa. Dewita mengelolah Tanjung dengan tiga padukuhan sedangkan Tanjung wisata fokus pada pengelolahn Desa Wisata Tanjung dengan basis Padukuhan Banteran. Perbedaan kepengursan yang berujung konfik dingin tersebut tidak berlangsung lama, karena pada bulan Juni tahun 2009 kepengurusan Wisata Tanjung membentuk desa wisata tersendiri dengan diberi nama Desa Tanjung dan sampai saat ini, yang mengelolah desa wisata tanjung adalah masyarakat tanjung sendiri, dan pengurus yang satu yakni Dewita tidak lagi aktif dan dianggap mati. Selain dualisme kepemimpinan yang melahirkan konflik laten tersebut diatas, juga ada permasalahan yang membutuhakn menajemen yang baik, jika tidak maka akan melahirkan kecemburuan sosial dan berakhir pada konflik di masyarakat. Salah satu permasalahan tersebut seperti penempatan wisatawan di homestay. Dimana desa wisata Tanjung memiliki 40 homestay, jika banyak wisatawan yang datang dan berkeinginan untuk menempati homestay, maka pihak pengelolah yang menentukan homestay mana yang harus ditempati. Sedangkan jika wisatawannya sedikit, maka pengelolah memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk memilih sendiri homestay mana yang harus mereka tempati. Selain itu, di desa Tanjung ada homestay yang pemiliknya beragama Kresten, maka untuk menghindari kecemburuan dan konflik di masyarakat, sebelum para wisatawan memilih homestay mana yang harus ditempati, mereka juga diberitahukan tentang agama di masyarakat tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik di masyarakat. D. Stakeholders di Desa Wisata Tanjung Di Desa Tanjung sebagai desa wisata di Kabupaten Sleman, mengalami peningkatan dalam konteks networking dari para pemangku kepentingan (stakeholders) secara efektif khususnya dalam pemasaran dan pengelolahanya, selalu berperan dan ikut bersama mengembangkan serta memasarkan desa wisata Tanjung. Stakehorders yang ada di Desa Wisata Tanjung seperti Kelompok Sadar Wisata, masyarakat secara umum, pemerintah propinsi DIY dan Sleman, BI, Dinas Parikanan, Pertanian, serta PNPM Mandiri pariwisata yang masa kontraknya dengan Desa Tanjung akan berakhir pada tahun 2015, serta Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) dan juga Forum Komunikasih Desa Wisata Kabupaten Sleman. Kelompok Sadar Wisata bersama masyarakat dan para pengurus desa wisata Tanjung mengembangkan jaringan ke berbagai organisasi sosial dinas pemerintahan yang bergerak dalam dunia pariwisata untuk ikut memberikan dukungan baik moril maupun materi untuk kemajuan desa wisata Tanjung. Setelah dibentuk pada tahun 2009, masyarakat dan para pengurus membangun jaringan kerja sama dengan berbagai organisasi dan lembaga terkait seperti yang disebutkan di atas. Dan kerja sama antara jaringan tersebut sampai saat ini masih tercipta dengan baik dan terus mengalami peningkatan, karena Desa Wisata Tanjung semakin terpromosikan ke berbagai daerah di Indonesia.